Karawang, Tanah yang Menempaku



Orang-orang kerap menyebutku beruntung atas karier yang kuperoleh sekarang. Mereka bilang, "Farel, kamu mah hoki, dari Karawang bisa tembus Jakarta, kerja di perusahaan besar, gaji dua digit, jalan-jalan ke luar negeri."
Aku hanya tersenyum. Dalam hati, ingin kubalas: kalian tak tahu apa yang pernah kulalui.

Namaku Farel. Lahir dan besar di Karawang, kota industri yang panas dan berdebu, tapi juga punya pesona sawah luas yang menenangkan kala senja. Di sinilah hidupku dimulai—di sebuah rumah kecil di pinggiran Kecamatan Telukjambe Timur. Ayahku buruh pabrik, ibuku jualan gorengan keliling dari pagi sampai petang. Kami tak pernah kelaparan, tapi hidup kami pas-pasan. Sepasang sandal harus cukup untuk dua tahun, dan membeli buku baru adalah kemewahan.

Sejak kecil aku tahu bahwa jika ingin masa depan lebih baik, aku harus belajar. Dan belajar sungguh-sungguh. Bukan hanya di sekolah, tapi juga dari hidup. Dari kegagalan, dari jatuh, dari air mata.

Ketika lulus SMA Negeri 2 Karawang, aku tak langsung bisa kuliah. Aku gap year satu tahun—kerja serabutan bantu toko sembako di Pasar Johar buat nabung biaya daftar kuliah. Panas, debu, peluh, dan suara-suara kasar para pedagang jadi makanan harianku. Tapi aku tak malu. Aku percaya: ini bagian dari perjalanan. Tuhan tak tidur.

Tahun berikutnya, aku keterima di sebuah kampus negeri di Bandung lewat jalur bidikmisi. Aku menangis saat itu. Bukan karena bangga, tapi karena takut. Bagaimana aku akan bertahan? Uang hanya cukup untuk ongkos sekali jalan dan bayar kos satu bulan. Itu pun kos petak kecil di bawah tangga, dindingnya lembab dan berjamur. Tapi aku bersyukur. Setidaknya aku punya tempat tidur.

Hari-hariku penuh perjuangan. Aku tidur hanya beberapa jam tiap malam. Siang kuliah, malam kerja part-time jadi penulis lepas, dan di sela-sela itu, aku baca buku, ikut organisasi, memperluas relasi. Teman-temanku banyak yang bilang aku ambisius. Mungkin benar. Tapi bukan ambisi akan uang atau jabatan. Aku hanya tak ingin hidup biasa-biasa saja. Aku ingin bisa mengubah nasib keluargaku.

Buku adalah pelarianku. Aku bisa duduk berjam-jam di pojok perpustakaan kampus, menelusuri pemikiran para filsuf dan ekonom. Kadang aku iri melihat mahasiswa lain bisa nongkrong sambil ngopi, sedangkan aku menghitung rupiah demi rupiah hanya untuk makan siang. Ada masa aku hanya makan mi instan dan kerupuk selama seminggu. Pernah juga, aku menangis sendirian di kamar sempitku, kehabisan uang dan tak berani minta pada orangtua. Aku tahu, mereka pun sedang berjuang di Karawang sana.

Saat semua jalan terasa buntu, aku hanya bisa mengadu pada Tuhan. Shalat malam menjadi pelipur lara. Doa menjadi sandaran harap. Tuhan tahu betapa aku ingin berhasil, bukan untuk pamer, tapi agar aku bisa memberi arti.

Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Aku lulus cumlaude. Aku diterima kerja di perusahaan multinasional di Jakarta. Hari pertama aku menginjakkan kaki di gedung tinggi pencakar langit itu, aku hampir tak percaya. Anak kampung dari Karawang ini, kini berdiri sejajar dengan para sarjana dari keluarga mapan. Tapi aku tetap Farel yang sama. Aku masih ingat aroma sawah setelah hujan di Karawang, suara lonceng pabrik yang mengiringi malam, dan peluh ayah di seragam kerjanya.

Kini, setelah tiga tahun bekerja, aku bisa membelikan rumah untuk orangtuaku. Bukan rumah mewah, tapi cukup nyaman. Di pinggiran Karawang, tak jauh dari Cikampek, tempat ayah dulu biasa naik sepeda ke pabrik. Aku juga sedang membangun perpustakaan kecil untuk anak-anak di desa. Aku ingin mereka tahu, bahwa mimpi tak pernah terlalu tinggi jika kita mau berjuang.

Jadi, ketika orang bilang aku beruntung, aku hanya bisa tertawa kecil.

Ya, mungkin aku memang beruntung. Tapi keberuntungan itu adalah buah dari ketekunan, dari luka yang dipeluk dengan sabar, dari doa yang tak pernah putus. Keberuntungan itu lahir dari malam-malam tanpa tidur, dari rasa lapar yang kutahan, dari air mata yang kuteteskan dalam diam.

Karawang telah menempa aku. Kota yang bagi sebagian orang hanyalah tempat transit antara Jakarta dan Cirebon, bagiku adalah saksi bisu perjuangan. Di bawah langit Karawang yang panas dan mendung silih berganti, aku belajar arti hidup: bahwa tidak ada kesuksesan yang datang tiba-tiba. Semua harus ditanam, disiram, dirawat, dan disyukuri.

Kadang, aku duduk di beranda rumah orangtuaku, memandang langit Karawang yang merah jingga saat senja. Suara azan Magrib berkumandang dari musala kecil di ujung gang. Angin membawa aroma gorengan ibu yang masih suka jualan walau aku sudah melarang.
“Biar tetap sibuk,” katanya sambil tersenyum.

Aku tersenyum balik. Hatiku penuh syukur.

Aku, Farel. Anak Karawang yang tak berhenti bermimpi. Dan inilah kisahku—bukan sekadar keberuntungan, tapi perjalanan panjang yang ditulis dengan air mata, doa, dan keyakinan.

Tags:
Link copied to clipboard.