Memaafkan Orang yang Tak Pernah Kukenal



Oleh Rony

Sejak kecil, aku terbiasa hidup dalam keteraturan yang asing: bangun pagi bersama puluhan anak lain, makan dari dapur yang sama, tidur di kamar besar berisi ranjang susun. 

Namaku Rony, dan aku dibesarkan di sebuah panti asuhan kecil di Surabaya. Di sana, tidak ada panggilan “Ayah” atau “Ibu”, yang ada hanya “Bunda”, sebutan untuk para pengurus yang bergantian menjaga kami.

Hidup di panti membuatku terbiasa dengan kehilangan, meski aku sendiri tidak tahu pasti apa yang telah hilang dariku. Tidak ada foto keluarga, tidak ada cerita masa kecil, tidak ada pelukan seorang ibu saat demam malam hari. 

Tapi waktu itu, aku belum terlalu peduli. Aku kira semua anak kecil memang seperti itu.

Semua berubah ketika aku mulai beranjak remaja. Suatu sore yang mendung, saat anak-anak lain sedang bermain sepak bola di halaman, Bunda Rika—salah satu pengurus panti yang paling dekat denganku—memanggilku ke ruang belakang. 

Matanya tampak sembab. Aku duduk di hadapannya, dan dengan suara pelan ia mulai membuka rahasia yang selama ini disimpan rapat.

“Rony… kami belum pernah cerita soal asal-usulmu, ya?”

Aku hanya menggeleng.

“Waktu kamu bayi, kamu ditemukan di depan toko emas di Pasar Turi. Dibungkus kain lusuh, dengan secarik kertas bertuliskan namamu—hanya nama, tanpa penjelasan lain.”

Aku terdiam. Dunia seakan berhenti berputar. Toko emas? Dibuang? Kata-kata itu mengiang-ngiang di kepala seperti bunyi lonceng pemakaman.

Aku pulang ke kamar malam itu dengan hati yang remuk. Tidak ada air mata, hanya perasaan kosong dan marah yang bercampur aduk. 

Jadi, aku ini benar-benar tidak diinginkan sejak awal? Bayi yang dibuang seperti barang tak berguna?

Untuk waktu yang lama, perasaan itu menghantuiku. Aku mulai melihat dunia dengan kacamata gelap. Aku menjadi remaja yang sulit diatur, gampang tersulut, dan sering menyendiri. 

Tapi Bunda Rika dan para pengurus lainnya tidak pernah lelah membimbingku. Mereka tak menggantikan peran orang tua, tapi mereka memberiku sesuatu yang bahkan lebih penting: rasa diterima.

Tahun berganti. Aku keluar dari panti setelah lulus SMA. Aku bekerja serabutan: dari jadi pelayan restoran, kuli gudang, hingga akhirnya kerja di sebuah toko elektronik sebagai staf bagian gudang. 

Pelan-pelan hidupku membaik. Aku ngontrak kamar kecil, bisa makan enak seminggu sekali, dan mulai menabung untuk motor bekas.

Aku pikir hidupku akan terus begitu—damai dalam keterasingan, tanpa harus mengungkit masa lalu yang pahit. Sampai suatu hari, saat aku pulang kerja, seorang perempuan paruh baya menungguku di depan kontrakan. Ia berdiri gugup, memegang tas kecil dan selembar foto kusam.

“Kamu Rony?” tanyanya dengan suara gemetar.

Aku mengangguk. Ia lalu menyerahkan foto itu. Terlihat seorang perempuan muda menggendong bayi. Wajah bayinya… wajahku.

“Aku Sari. Adik dari ibu kandungmu…”

Aku nyaris menjatuhkan tas belanja yang kubawa. Perempuan ini melanjutkan, “Ibumu sakit parah, dia minta bertemu. Dia ingin minta maaf… dia ingin kau tahu, dia sangat menyesal.”

Aku tidak langsung menjawab. Rasanya dadaku sesak, seperti dihantam gelombang besar yang datang tiba-tiba. Dalam kepalaku berkecamuk ribuan tanya: Kenapa baru sekarang? Di mana dia saat aku menggigil demam di panti? Di mana dia ketika aku menangis sendirian saat anak-anak lain dijemput orang tua saat liburan? Di mana dia selama ini?

Aku tidak tahu harus marah atau tertawa. Ada yang aneh saat seseorang yang tak pernah kukenal tiba-tiba disebut sebagai “ibu”. Apa arti ibu, kalau dia sendiri membuangku saat aku belum tahu cara meminta susu? Apa artinya penyesalan, kalau ia datang setelah semuanya terlambat?

Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri untuk menemuinya. Bukan karena aku ingin pelukan haru atau pengakuan dramatis seperti di sinetron. Aku hanya butuh kejelasan—jawaban dari teka-teki yang menyisakan luka sepanjang hidupku.

Saat kulihat dia terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya ringkih dan wajahnya tirus, aku hanya bisa diam. Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.

“Rony… maafkan Ibu…” katanya lirih.

Aku tak menjawab. Entah kenapa, amarah yang selama ini kupelihara justru melebur dalam sunyi. Di dadaku, ada rasa lega yang aneh. Aku tidak memeluknya. Aku hanya duduk, mengangguk pelan, dan menatap keluar jendela.

Hari itu, aku memutuskan untuk memaafkannya. Bukan karena dia layak dimaafkan. Bukan karena aku ingin menjadi anak yang berbakti. 

Tapi karena aku ingin bebas. Aku ingin melepaskan beban itu dari pundakku. Dendam itu berat, dan aku tak mau membawanya lagi.

Aku tahu, memaafkan tidak mengubah masa lalu. Ia tidak menghapus malam-malam dingin di panti asuhan, tidak mengembalikan tahun-tahun tanpa ibu. Tapi ia memberiku sesuatu yang jauh lebih penting: kedamaian.

Memaafkan bukan hadiah untuk orang yang bersalah. Itu hadiah untuk diri sendiri. 

Aku memaafkan dia bukan karena dia ibuku, tapi karena aku ingin hidup tanpa luka lama yang terus berdarah.

Kini aku melanjutkan hidup dengan hati yang lebih tenang. Luka itu mungkin tak akan pernah benar-benar hilang, tapi setidaknya, ia tidak lagi bernanah. Ia menjadi bekas, menjadi bagian dari siapa diriku hari ini.

Dan kalau ada yang bertanya, apa aku punya ibu? Aku akan menjawab: aku punya banyak ibu. Bunda Rika dan para pengurus panti, merekalah ibu-ibuku. Mereka yang tidak pernah melahirkanku, tapi mencintaiku tanpa syarat.

Sedangkan perempuan yang melahirkanku… dia adalah awal dari kisahku. Dan aku telah memilih untuk menuliskan akhir yang berbeda, bukan dengan dendam, tapi dengan penerimaan.

Link copied to clipboard.