Perut Laper Ternyata Menyehatkan, Membunuh Sel Jahat
Puasa Bisa "Bersihkan" Sel Jahat, Ini Penjelasan Ilmiahnya
Tak hanya bagian dari tradisi spiritual dan budaya, puasa kini juga menarik perhatian dunia medis dan ilmiah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa saat tubuh dalam kondisi lapar—seperti saat berpuasa—terjadi proses biologis kompleks yang bisa membantu tubuh “membersihkan” dirinya sendiri dari sel-sel rusak, tua, bahkan yang berpotensi menjadi kanker.
Fenomena ini bukan sekadar mitos atau sugesti. Secara ilmiah, tubuh memang memiliki mekanisme bernama autofagi yang diaktifkan saat tubuh tidak mendapatkan asupan makanan dalam periode tertentu.
Apa sebenarnya autofagi itu?
Autofagi: Proses Pembersihan Diri Sel
Autofagi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “memakan diri sendiri”. Ini bukan berarti sel menghancurkan dirinya, melainkan membersihkan bagian-bagian dalam sel yang sudah rusak atau tak berguna—seperti protein yang cacat, organel yang aus, atau bahkan patogen kecil.
Dalam kondisi normal, autofagi terjadi dalam skala kecil. Namun, ketika tubuh kekurangan asupan nutrisi, seperti saat berpuasa, proses ini meningkat tajam.
Tubuh akan menghemat energi dan mulai mencari sumber energi alternatif dari dalam. Salah satunya, dengan mendaur ulang bagian-bagian sel yang rusak.
Inilah yang menjadi alasan ilmiah mengapa puasa disebut-sebut bisa membantu membersihkan “sel-sel jahat”. Di antaranya:
- Menghilangkan Sel Rusak: Autofagi membantu membuang komponen sel yang rusak dan bisa menyebabkan penyakit jika dibiarkan menumpuk.
- Potensi Anti-Kanker: Pada tahap awal pertumbuhan kanker, autofagi bisa membantu mencegah perkembangan sel ganas dengan membersihkan komponen yang bisa memicu kerusakan DNA.
- Pembersihan Sel Tua: Sel-sel tua yang tidak lagi membelah diri namun masih aktif secara metabolik bisa menyebabkan peradangan kronis. Autofagi membantu membersihkannya sebelum menimbulkan kerusakan lebih lanjut.
Apoptosis: Kematian Sel Terprogram
Dalam kondisi puasa yang lebih panjang atau ekstrem, tubuh bisa memicu apoptosis—yakni kematian sel terprogram. Ini terjadi saat ada sel yang rusaknya terlalu parah atau tak mampu lagi menyesuaikan diri dengan stres akibat kekurangan nutrisi.
Dalam beberapa penelitian, mekanisme ini bahkan mampu membuat sel kanker yang “lemah” tidak bertahan.
Sel Kanker Jadi Rentan
Puasa juga berpengaruh pada metabolisme tubuh, terutama terkait glukosa dan insulin. Banyak sel kanker sangat bergantung pada glukosa untuk berkembang. Ketika kadar glukosa turun selama puasa, sel kanker kesulitan bertahan.
Lebih jauh, puasa juga menurunkan kadar IGF-1 (Insulin-like Growth Factor 1), hormon yang mendorong pertumbuhan sel.
Penurunan IGF-1 bisa menghambat pertumbuhan sel kanker. Di sisi lain, tubuh menghasilkan keton sebagai bahan bakar alternatif.
Sel sehat bisa menggunakan keton dengan baik, namun beberapa jenis sel kanker tidak mampu melakukannya.
Ada pula istilah Differential Stress Resistance (DSR) dan Differential Stress Sensitization (DSS). Saat puasa, sel normal justru menjadi lebih tahan terhadap stres, sedangkan sel kanker sebaliknya—lebih rentan dan mudah “terpukul”, termasuk oleh pengobatan seperti kemoterapi.
Bukan Obat, Tapi Potensi Pendukung
Meski terdengar menjanjikan, para ahli mengingatkan bahwa puasa bukanlah “obat ajaib” untuk kanker atau penyakit kronis lainnya.
Puasa lebih dilihat sebagai pendekatan komplementer yang bisa dikombinasikan dengan terapi konvensional.
Masih banyak penelitian lanjutan yang dibutuhkan sebelum bisa dijadikan standar pengobatan.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang cocok dengan praktik puasa, terutama mereka yang memiliki penyakit tertentu, ibu hamil, menyusui, atau lansia. Puasa ekstrem tanpa bimbingan medis justru bisa berbahaya.
Ada berbagai jenis puasa yang saat ini diteliti manfaatnya, mulai dari puasa intermiten (misalnya 16 jam puasa, 8 jam makan), puasa berkala, hingga puasa jangka panjang. Efek masing-masing bisa berbeda-beda, tergantung kondisi tubuh dan durasinya.
***
Ilmu pengetahuan modern mulai mengungkap bahwa rasa lapar yang terkontrol bukan hanya latihan spiritual, tapi juga “pengingat” bagi tubuh untuk membersihkan dirinya dari bagian-bagian yang tak lagi berfungsi.
Melalui mekanisme seperti autofagi dan apoptosis, puasa dapat membantu tubuh menyingkirkan “sampah seluler”, termasuk sel-sel jahat yang bisa menimbulkan penyakit.
Namun, pendekatan ini harus dilakukan dengan bijak dan penuh pertimbangan medis. Sebab di balik potensi manfaatnya, puasa tetap menyimpan risiko jika dilakukan secara sembarangan.