Waspadai “Lapar Palsu”, Saat Perut Tak Kosong, Tapi Mulut Ingin Makan


Jakarta – Banyak orang mengira mereka lapar, padahal sebenarnya tidak. Fenomena ini dikenal sebagai “lapar palsu” atau false hunger—suatu kondisi di mana seseorang merasa ingin makan bukan karena tubuh benar-benar membutuhkan makanan, melainkan sebagai respons terhadap faktor emosional atau rangsangan dari luar.

Lapar palsu bukanlah hal sepele. Jika tidak dikenali dan dikendalikan, kebiasaan menuruti dorongan ini dapat memicu makan berlebihan, kenaikan berat badan, hingga gangguan pola makan.

Makan Karena Emosi, Bukan Energi

Berbeda dengan lapar fisik yang muncul ketika tubuh membutuhkan energi, lapar palsu biasanya muncul karena alasan lain. Menurut para ahli gizi dan psikolog, emosi merupakan pemicu paling umum.

“Stres, kecemasan, kesepian, bahkan rasa senang bisa memicu keinginan untuk makan,” kata Rina Hartono, seorang psikolog klinis di Jakarta. “Makanan dijadikan pelarian atau hadiah untuk mengelola emosi.”

Tak heran, banyak orang yang secara tidak sadar membuka kulkas atau memesan camilan saat sedang penat dengan pekerjaan, bosan di rumah, atau sekadar mencari kenyamanan.

Dipicu Aroma, Iklan, dan Kebiasaan

Selain emosi, lapar palsu juga dapat dipicu oleh faktor eksternal. Iklan makanan yang menggoda di media sosial, aroma masakan dari dapur tetangga, atau melihat teman sedang makan bisa membuat seseorang tiba-tiba merasa ingin ikut makan—padahal baru saja selesai makan besar.

Kebiasaan tertentu juga memperkuat dorongan ini. Misalnya, terbiasa ngemil saat menonton TV, menyeruput kopi sambil menyantap kue, atau membuka camilan setiap kali bekerja di depan laptop. Aktivitas-aktivitas ini menanamkan asosiasi antara situasi tertentu dengan keinginan makan.

Kurang Tidur, Haus, dan Faktor Hormon

Lapar palsu juga bisa dipicu oleh kondisi fisik tertentu yang sering kali tidak disadari. Kurang tidur, misalnya, memengaruhi keseimbangan hormon ghrelin dan leptin yang mengatur rasa lapar dan kenyang.

“Saat kita kurang tidur, ghrelin meningkat dan leptin menurun. Akibatnya, tubuh mengira kita lapar, padahal sebenarnya butuh istirahat,” jelas dr. Fadli Ramadhan, ahli gizi dari RS Cipto Mangunkusumo.

Rasa haus juga kerap disalahartikan sebagai rasa lapar. Begitu pula saat tubuh kekurangan nutrisi seperti serat atau protein, yang membuat kita lebih cepat merasa “lapar” lagi. Bagi perempuan, fluktuasi hormon menjelang menstruasi atau saat hamil juga bisa meningkatkan keinginan makan meski tidak lapar secara fisik.

Bagaimana Mengenalinya?

Ciri utama lapar palsu adalah munculnya keinginan makan secara tiba-tiba dan mendesak. Sering kali, keinginan ini spesifik pada makanan tertentu seperti cokelat, gorengan, atau camilan asin—bukan pada makanan sehat seperti nasi atau sayur.

Berbeda dengan lapar fisik yang muncul bertahap dan terasa di perut, lapar palsu lebih banyak “dirasakan” di kepala atau mulut. Seseorang mungkin ingin mengunyah sesuatu meski perut tidak kosong.

“Kalau setelah makan muncul rasa bersalah atau penyesalan, bisa jadi itu tanda kita baru saja menuruti lapar palsu,” tambah Rina.

Keinginan makan ini juga cenderung hilang jika dialihkan dengan aktivitas lain seperti berjalan-jalan, menelepon teman, atau minum air putih.

Tabel Perbedaan Lapar Fisik dan Lapar Palsu:

Aspek Lapar Fisik Lapar Palsu
Kemunculan Bertahap Tiba-tiba
Lokasi Rasa Perut (keroncongan) Pikiran, mulut
Jenis Makanan Apa saja Spesifik, seringnya comfort food
Kepuasan Puas setelah makan Sulit puas
Perasaan Setelah Kenyang Sering bersalah
Pemicu Kebutuhan energi Emosi, kebiasaan, rangsangan luar
Intensitas Bisa ditunda Mendesak, harus segera makan

Mengenali untuk Mengendalikan

Mengetahui perbedaan antara lapar fisik dan lapar emosional adalah langkah penting dalam menjaga pola makan yang sehat. Dengan mengenali sinyal tubuh secara sadar, seseorang bisa belajar membedakan kapan benar-benar butuh makan dan kapan hanya sedang “tertipu” oleh emosi atau lingkungan.

“Sebelum makan, coba tanya diri sendiri: Apakah saya benar-benar lapar? Apa yang memicu keinginan ini?” saran dr. Fadli.

Langkah kecil seperti minum segelas air, berjalan sebentar, atau mencatat suasana hati bisa membantu menunda keputusan untuk makan secara impulsif. Dengan latihan, tubuh dan pikiran bisa diajak bekerja sama untuk membentuk hubungan yang lebih sehat dengan makanan.

Link copied to clipboard.