Ibu Menjadikan Anak Sebagai Konten, Mengidap Masalah Mental
Di era media sosial, banyak orang tua—khususnya ibu—menjadikan anak sebagai pusat konten.
Anak tampil dalam berbagai unggahan mulai dari foto lucu, video keseharian, hingga challenge viral.
Sepintas terlihat wajar, bahkan menghibur. Namun, bila ditelaah lebih dalam, perilaku ini bisa jadi mencerminkan masalah mental pada orang tua.
Perlu dipahami, masalah mental berbeda dengan gangguan mental.
Menurut American Psychiatric Association (APA), gangguan mental adalah kondisi yang signifikan memengaruhi pikiran, emosi, atau perilaku hingga mengganggu fungsi sehari-hari.
Sedangkan masalah mental merujuk pada kondisi psikologis yang menimbulkan tekanan (distress) atau pola perilaku tidak sehat, tetapi belum sampai pada kategori klinis.
Fenomena ibu yang mengekspos anak berlebihan dapat dikategorikan sebagai masalah mental, dengan beberapa alasan berikut:
1. Eksploitasi Kelebihan Anak
Banyak ibu merasa anak mereka memiliki daya tarik—entah kelucuan, kecerdasan, ketampanan, atau keunikan tertentu. Hal ini kemudian dimanfaatkan sebagai konten untuk mendapatkan atensi publik.
Dalam psikologi, fenomena ini bisa dikaitkan dengan narcissistic extension. Konsep ini muncul dari teori psikoanalisis Heinz Kohut, yang menjelaskan bahwa sebagian orang tua melihat anak sebagai perpanjangan dari dirinya.
Jika anak dipuji, orang tua ikut merasa berhasil dan bangga. Akhirnya, anak lebih dilihat sebagai objek pencapaian sosial ketimbang individu dengan haknya sendiri.
2. Pelanggaran Privasi Anak
Konten anak yang diunggah tanpa batasan sering kali menyingkap sisi pribadi mereka—misalnya kebiasaan sehari-hari, ekspresi emosional, bahkan momen rentan seperti saat marah atau menangis.
Teori Erik Erikson tentang psychosocial development menyebutkan bahwa setiap tahap perkembangan anak memiliki tugas perkembangan spesifik.
Misalnya, di masa remaja mereka sedang membangun identity vs role confusion (identitas diri vs kebingungan peran).
Bila privasi mereka sudah terpublikasi sejak kecil, proses pembentukan identitas bisa terganggu. Anak mungkin merasa hidupnya bukan miliknya, melainkan milik publik.
Hal ini juga berhubungan dengan self-determination theory (Deci & Ryan), yang menekankan pentingnya autonomy (kemandirian), competence (kemampuan), dan relatedness (keterhubungan).
Ekspos berlebihan bisa merusak rasa otonomi anak, karena mereka tidak punya kendali atas bagaimana dirinya ditampilkan ke dunia.
3. Rasa Takut Kehilangan Berlebih
Sebagian ibu membuat konten anak sebagai bentuk kompensasi dari fear of loss atau rasa takut kehilangan berlebih.
Ada ketakutan jika momen bersama anak hilang begitu saja, sehingga semuanya harus terdokumentasi dan dipublikasikan.
Fenomena ini dapat dikaitkan dengan attachment theory (John Bowlby). Orang tua dengan kecenderungan anxious attachment biasanya memiliki rasa cemas ditinggalkan.
Dengan mengabadikan anak dalam bentuk konten, mereka merasa lebih aman seolah hubungan itu bisa “diabadikan” selamanya.
Namun, jika berlebihan, perilaku ini justru bisa berubah menjadi bentuk emotional dependency pada anak, di mana keberadaan anak dijadikan pusat kebahagiaan ibu.
Masalah Mental, Bukan Gangguan
Penting digarisbawahi, ibu yang menjadikan anak sebagai konten tidak otomatis mengalami gangguan mental.
Namun, perilaku ini menunjukkan adanya masalah mental berupa pola pikir dan emosi yang kurang sehat:
- Ada kecenderungan menjadikan anak sebagai objek validasi sosial.
- Ada kurangnya kesadaran terhadap hak anak atas privasi.
- Ada kecemasan berlebih terkait ikatan emosional dengan anak.
Masalah mental seperti ini bisa menimbulkan dampak jangka panjang, terutama pada perkembangan psikologis anak.
***
Fenomena ibu menjadikan anak sebagai konten adalah cermin dinamika psikologis yang kompleks. Eksploitasi kelebihan anak, pelanggaran privasi, hingga rasa takut kehilangan berlebih menunjukkan bahwa perilaku ini lebih dari sekadar tren media sosial. Ia bisa menjadi tanda adanya masalah mental pada orang tua—meski belum masuk ranah gangguan klinis.
Kesadaran akan hal ini penting, agar orang tua lebih bijak menggunakan media sosial. Anak bukanlah properti, melainkan individu yang berhak menentukan bagaimana dirinya ingin dilihat dunia.