Jarang Posting di SosMed Bikin Hidup Lebih Damai
Di era digital sekarang, sosial media seperti Instagram, Facebook, dan TikTok sudah jadi bagian dari keseharian.
Banyak orang yang merasa perlu selalu update kehidupan sehari-hari, mulai dari makanan yang dimakan, pencapaian, hingga masalah pribadi.
Namun, ada juga sebagian orang yang jarang posting atau bahkan tidak terlalu aktif berbagi kehidupan pribadinya.
Menariknya, mereka yang jarang posting justru cenderung memiliki hidup lebih damai.
Kenapa bisa begitu? Mari kita bahas lebih dalam dengan perspektif psikologi dan gaya hidup sehat di tengah derasnya arus media sosial.
Privasi Lebih Terjaga
Salah satu keuntungan utama jarang posting di sosial media adalah privasi yang lebih terlindungi.
Saat seseorang rajin membagikan setiap detail kehidupannya, mulai dari lokasi, aktivitas, hingga masalah pribadi, ia sebenarnya sedang membuka pintu bagi orang lain untuk ikut campur atau bahkan menilai kehidupannya.
Dalam teori psikologi, khususnya konsep self-disclosure (Altman & Taylor, 1973), membuka diri memang penting untuk menjalin hubungan, tetapi terlalu banyak membuka informasi pribadi bisa menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah rasa cemas akibat merasa hidupnya terus diawasi.
Dengan menjaga privasi, seseorang akan merasa lebih aman dan tidak mudah terganggu oleh komentar negatif, gosip, atau perbandingan sosial (social comparison) yang seringkali memicu stres.
Tidak Terpacu untuk Selalu Ngonten
Rajin posting di sosial media biasanya membuat seseorang merasa terikat untuk terus menghasilkan konten.
Istilahnya, “hidupnya harus kelihatan keren di layar.” Akibatnya, banyak energi yang terkuras hanya untuk memikirkan caption, memilih foto, atau membuat video yang bisa menarik perhatian.
Menurut teori self-presentation dari Erving Goffman, manusia pada dasarnya ingin menampilkan citra terbaiknya di depan orang lain.
Namun, bila dorongan ini berlebihan, justru bisa membuat seseorang terjebak dalam “panggung sosial media” yang penuh tekanan.
Mereka yang jarang posting biasanya tidak terikat dengan tuntutan tersebut. Energi dan perhatian mereka bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih produktif, seperti pekerjaan, hobi, atau pengembangan diri. Hasilnya, kualitas hidup jadi lebih seimbang dan damai.
Fokus pada Hal yang Penting: Portofolio dan Karya
Jarang posting bukan berarti anti sosial media. Sebagian orang tetap menggunakan platform ini, tetapi dengan tujuan yang lebih terarah, misalnya untuk promosi produk, pekerjaan, atau membagikan konten positif.
Hal ini sesuai dengan konsep intentional living, yaitu hidup dengan tujuan dan kesadaran penuh. Dengan begitu, sosial media tidak lagi menjadi sumber stres, melainkan alat untuk menambah nilai pada diri sendiri.
Contohnya, seseorang bisa membagikan hasil karya, pencapaian karier, atau ide-ide yang bermanfaat bagi orang lain.
Aktivitas seperti ini lebih sehat dibanding sekadar pamer kehidupan pribadi yang sering memicu iri hati atau perbandingan sosial.
Risiko Psikologis Terlalu Sering Posting
Sebaliknya, mereka yang terlalu sering posting kehidupan pribadinya justru lebih rentan mengalami kecemasan. Ada beberapa alasan psikologis di balik fenomena ini:
- Fear of Missing Out (FoMO): sering merasa ketinggalan tren atau kurang eksis bila tidak update.
- Social Comparison Theory (Festinger, 1954): mudah membandingkan diri dengan orang lain, sehingga muncul rasa tidak puas.
- Validation Seeking: terlalu bergantung pada “like” dan komentar positif sebagai sumber kebahagiaan.
Kondisi ini sering membuat seseorang merasa hidupnya harus selalu terlihat sempurna di sosial media, padahal realitanya tidak demikian.
Akibatnya, timbul perasaan cemas, stres, bahkan menurunkan kesehatan mental.
Hidup Lebih Tenang dengan “Digital Minimalism”
Psikolog dan penulis Cal Newport memperkenalkan istilah Digital Minimalism, yaitu gaya hidup yang menekankan penggunaan teknologi secara lebih bijak dan terkontrol.
Orang yang jarang posting sebenarnya sedang mempraktikkan prinsip ini: mereka hanya menggunakan sosial media seperlunya, tanpa harus terus-menerus terikat.
Dengan pola hidup seperti ini, seseorang bisa lebih fokus pada dunia nyata, hubungan interpersonal yang otentik, serta menjaga kesehatan mental.
Hidup pun terasa lebih damai karena tidak harus selalu mengikuti “drama” dan tekanan sosial media.
***
Jarang posting di sosial media bukan berarti ketinggalan zaman. Justru, itu bisa menjadi tanda bahwa seseorang memiliki kontrol diri yang kuat, menjaga privasi, dan lebih fokus pada hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup.
Dengan menjaga privasi, tidak terjebak keharusan ngonten, serta memanfaatkan sosial media secara bijak untuk karya atau pekerjaan, hidup akan terasa lebih damai.
Jadi, kalau kamu termasuk orang yang jarang posting, selamat! Itu bisa jadi salah satu kunci untuk hidup yang lebih tenang, sehat, dan bahagia.