Mengapa Kepala Daerah Marah² Menjadi Tren?
Mengapa Pemimpin Marah, Analisis Psikologis di Balik Frustrasi Terhadap Birokrasi dan Penolakan Kebijakan
Kemarahan seorang pemimpin seringkali menjadi sorotan publik. Entah itu terekam kamera saat rapat dengan jajaran birokrasi yang dinilai lamban, atau dalam pidato yang menyiratkan kekecewaan terhadap penolakan masyarakat atas kebijakan yang telah dirumuskan.
Fenomena ini bukanlah hal baru dan dapat diamati pada berbagai tingkatan kepemimpinan. Namun, apa sebenarnya yang memicu ledakan emosi tersebut?
Mengapa birokrasi yang tidak beres dan masyarakat yang menentang kebijakan bisa menjadi sulut bagi kemarahan pemimpin? Artikel ini akan mengupasnya lebih dalam, termasuk melalui kacamata teori psikologi.
Frustrasi Akibat Roda Birokrasi yang Macet
Seorang pemimpin, pada hakikatnya, memiliki visi dan target yang ingin dicapai. Mereka merumuskan kebijakan dan program dengan harapan dapat membawa perubahan positif dan kemajuan.
Birokrasi, sebagai mesin pelaksana kebijakan, memegang peranan krusial dalam mewujudkan visi tersebut. Namun, ketika mesin ini berjalan lambat, berbelit-belit, tidak responsif, atau bahkan diwarnai praktik korupsi dan inefisiensi, frustrasi pemimpin menjadi tak terelakkan.
Bayangkan seorang pemimpin yang telah merancang sebuah program terobosan untuk mengatasi kemiskinan. Program tersebut membutuhkan koordinasi antar-instansi, pencairan dana yang cepat, dan implementasi yang tepat sasaran.
Namun, di lapangan, ia menemukan proses perizinan yang memakan waktu berbulan-bulan, laporan yang tak kunjung selesai, ego sektoral antar-lembaga, hingga indikasi penyelewengan dana.
Hambatan-hambatan ini bukan hanya menunda realisasi program, tetapi juga menggerogoti energi dan sumber daya yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal produktif lainnya.
Dari sudut pandang Teori Frustrasi-Agresi (Dollard, Doob, Miller, Mowrer, & Sears, 1939), kemarahan pemimpin dapat dilihat sebagai respons alami terhadap frustrasi. Teori ini menyatakan bahwa agresi (dalam hal ini, kemarahan verbal atau tindakan tegas) seringkali merupakan akibat dari terhalangnya seseorang dalam mencapai tujuannya.
Birokrasi yang tidak efektif menjadi penghalang nyata bagi pemimpin untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dicanangkannya. Semakin besar harapan dan urgensi untuk mencapai tujuan tersebut, semakin besar pula potensi frustrasi dan kemarahan yang muncul ketika tujuan itu terancam gagal akibat kinerja birokrasi yang buruk.
Guncangan Akibat Penolakan Publik
Selain masalah internal birokrasi, tantangan eksternal berupa penolakan masyarakat terhadap kebijakan juga menjadi pemicu kemarahan pemimpin.
Seorang pemimpin mungkin merasa telah merumuskan kebijakan terbaik berdasarkan data, analisis, dan pertimbangan matang untuk kepentingan publik. Namun, ketika kebijakan tersebut disambut dengan kritik tajam, demonstrasi, atau bahkan pembangkangan sipil, hal ini bisa menimbulkan berbagai respons emosional.
Penolakan publik dapat dipersepsikan oleh pemimpin sebagai bentuk ketidakpercayaan, kegagalan dalam mengkomunikasikan visi, atau bahkan sebagai serangan personal terhadap integritas dan kapabilitasnya.
Di sini, Teori Disonansi Kognitif (Festinger, 1957) dapat memberikan penjelasan. Seorang pemimpin memiliki konsep diri sebagai figur yang kompeten, bijaksana, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. Ketika kebijakannya ditolak, muncul ketidaksesuaian (disonansi) antara konsep diri tersebut dengan realitas penolakan.
Untuk mengurangi disonansi ini, pemimpin mungkin merasionalisasi bahwa penolakan tersebut disebabkan oleh ketidakpahaman masyarakat, provokasi pihak tertentu, atau bahkan menganggap masyarakat tidak tahu apa yang terbaik untuk mereka. Kemarahan bisa menjadi salah satu manifestasi dari upaya mereduksi disonansi ini, sebagai bentuk pertahanan diri atau penegasan otoritas.
Lebih lanjut, bagi pemimpin dengan kecenderungan narsistik (meskipun tidak semua pemimpin demikian), penolakan dapat dirasakan sebagai ancaman langsung terhadap citra diri mereka yang superior dan pandangan mereka yang dianggap paling benar.
Kritik atau oposisi dianggap sebagai serangan personal yang memicu reaksi defensif berupa kemarahan atau bahkan agresi. Mereka kesulitan menerima bahwa pandangan atau kebijakan mereka bisa salah atau perlu dikoreksi.
Tekanan dan Ekspektasi Jabatan
Peran seorang pemimpin sarat dengan tekanan dan ekspektasi yang tinggi. Mereka dituntut untuk membuat keputusan sulit, bertanggung jawab atas nasib banyak orang, dan seringkali bekerja di bawah sorotan publik yang intens. Stres kronis akibat tuntutan pekerjaan ini dapat menurunkan ambang batas toleransi terhadap frustrasi. Masalah birokrasi dan penolakan publik menjadi pemicu tambahan yang dapat dengan mudah meluapkan emosi yang sudah terakumulasi.
Teori Atribusi (Heider, 1958; Weiner, 1986) juga relevan dalam konteks ini. Pemimpin mungkin cenderung melakukan atribusi eksternal ketika menghadapi kegagalan atau penolakan. Artinya, mereka lebih mudah menyalahkan faktor di luar diri mereka – seperti birokrasi yang tidak kompeten atau masyarakat yang mudah terprovokasi – daripada mengintrospeksi kemungkinan adanya kekurangan dalam kebijakan atau gaya kepemimpinan mereka sendiri.
Kemarahan bisa menjadi ekspresi dari atribusi eksternal ini, sebagai cara untuk melimpahkan tanggung jawab atas situasi yang tidak diinginkan.
Dampak dan Jalan Tengah
Kemarahan pemimpin, meskipun terkadang dipandang sebagai bentuk ketegasan, dapat memiliki dampak negatif. Dalam konteks birokrasi, kemarahan yang meledak-ledak bisa menciptakan iklim kerja yang penuh ketakutan, menurunkan moral, dan justru menghambat inisiatif serta kreativitas.
Staf mungkin bekerja hanya untuk menghindari amarah atasan, bukan karena motivasi intrinsik untuk berkinerja baik.
Terhadap publik, kemarahan pemimpin dapat memperlebar jarak dan merusak kepercayaan. Masyarakat mungkin merasa tidak didengarkan dan aspirasinya diabaikan, yang justru dapat memperkuat resistensi terhadap kebijakan.
Penting bagi pemimpin untuk mengembangkan kecerdasan emosional, terutama kemampuan untuk mengelola emosi dan merespons tekanan secara konstruktif.
Membangun sistem birokrasi yang lebih responsif, transparan, dan akuntabel, serta membuka ruang dialog yang tulus dengan masyarakat, dapat menjadi langkah preventif untuk mengurangi potensi frustrasi.
Mengakui bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam demokrasi dan melihat kritik sebagai masukan berharga juga merupakan kunci untuk kepemimpinan yang lebih efektif dan empatik.
Pada akhirnya, kemarahan pemimpin adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Memahaminya bukan untuk membenarkan, melainkan untuk mencari akar permasalahan dan menemukan solusi yang lebih baik, baik bagi pemimpin itu sendiri, bagi sistem birokrasi, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.